Malam ini saya sengaja menggunakan dasi bersejarah ini.
Karena di sinilah pengalaman pertama saya menikmati makan siang
dengan kancing baju terpasang lengkap dan rapih berbalut dasi.
Kawan-kawan sekalian
Tibalah kita di hari ironi ini. Hari yang harus kita lalui, namun rasanya tak ingin kita jalani. Karena, semua ini pasti akan menimbulkan rasa sakit, sungguh.
Malam ini kita bisa bersiul, kita bisa menyanyikan apapun menyambut kebabasan ini.
Kita semua akan menebar senyum bahagia, namun kita pun pasti bersedih, senyuman kita dibayangi tangisan.
Yah, jika dianalogikan, ini seperti kematian saja.
Untuk merasakan pembebasan dan indahnya syurga, maka terlebih dahulu kita harus mati.
Namun, siapakah di antara kita yang ingin mati sekarang? Tidak ada, kan?
Saya sama seperti kalian semua, tidak ingin mati sekarang.
Tidak ingin meninggalkan Prajab ini, tidak ingin pergi dari BLK ini.
Tapi, ini semua tak bisa dielakkan, kawan-kawan.
Untuk peroleh kelulusan dan sertifikat, kembali mengemban amanah Negara dan mengabdi di tengah masyarakat, maka kita harus rela meninggalkan tempat ini.
Saudaraku sekalian senasib sepenanggungan.
Bukan hanya hari ini yang ironi. Tapi hidup di BLK selama lebih tiga pekan ini terasa aneh.
Di pekan awal keberadaan kita, semua seperti membosankan, semua mata terasa mencurigakan, dan kita seperti diawasi oleh sesuatu, kita menjadi risih dan tidak tenang.
Kesan di pekan pertama, bahwa kita tidak ingin berlama-lama untuk sesuatu yang tidak menyenangkan ini.
Namun, seiring berlalunya waktu, jalinan keakaraban telah memutus urat-urat risih.
Persaudaran kita telah memecah kebosanan.
Bahkan, sebelumnya tidak ada yang mengira,
bahwa BLK kini telah menjadi "taman orang-orang jatuh cinta".
Kawan-kawan, di aula ini kita sama-sama berjuang.
Berjuang melawan kantuk, gerah dan jenuh.
Hari-hari terasa sangat panjang dan melelahkan di aula.
Di tempat ini, waktu berjalan terasa seperti “slow motion”.Waktu di aula begitu lambat dan membosankan.
Tapi mungkin sedikit pengecualian bagi teman-teman yang “bisa mencuri tidur saat materi berlangsung”, atau beberapa yang lain (termasuk saya) memilih kamar kecil untuk mengalihkan rasa kantuk dengan kepulan asap rokok.
Dan kalau nasib lagi apes, panitia kadang memergoki kita dan meminta segera masuk ke ruangan, meski rokok baru saja tersulut.
Tapi sesungguhnya keadaan tidak menyenangkan itu tidak hanya berlangsung di aula.
Bahkan beberapa jam setelahnya kita harus siap ditagih hapalan “Panca Prasetya Korpri” oleh panitia.
Akhirnya, “Panca Prasetya” selalu ikut kemana pun kita pergi: ke wc, mushallah, ada pula yang melafalkan “Panca Prasetya” sambil menulis resume, bahkan saat apel dan jogging pun “Panca Prasetya” tergenggam erat di tangan.
Hingga saya yakin ada diantara teman yang membawanya ke alam mimpi.
Kawanku, cerita di asrama bukan hanya soal menghapal dan buat resume, tapi juga tentang bunyi lonceng yang selalu tepat waktu.
Seandainya tidak ada bunyi lonceng, kehidupan di asrama pasti akan menjadi surga. Tapi bunyi lonceng seperti tak bisa berkompromi. Bagaimanapun lelapnya kita tertidur, lonceng adalah harga mati untuk kita bangun.
Di sini pula saya merasakan nikmatnya tidur siang lima menit.
Dan bunyi lonceng pulalah yang memaksa frekuensi dan volume mandi kita menjadi terusik.
Bunyi lonceng adalah alasan lain proporsi mandi kita menjadi dua liter.
Apalagi, kami yang punya kamar di sisi kanan, berharap air mengalir seperti berharap keajaiban. Sehingga, jika tidak sempat turun mandi ke wc aula, maka kami harus menunggu sisa air dari kamar sisi kiri, dan akhirnya dua botol air harus dicukupkan: sekadar menyapu keringat atau hanya menormalkan suhu tubuh setelah olahraga pagi.
Yah, hidup di BLK seperti mengisahkan sebuah novel.
Seperti kata Sidney Sheldon, “Setiap hari adalah halaman lain, dan halaman-halaman itu penuh kejutan.” Karena kita tidak tahu apa yang selanjutnya terjadi, maka kita tidak boleh berhenti membuka halaman demi halaman agar menemukan kejutan.
Maka, kawan-kawan sekalian, jangan terburu-buru menutup buku dan melewatkan kebahagiaan yang bisa saja terjadi pada halaman selanjutnya.
Saudaraku
Keakraban dan persaudaraan kita saya kira menjadi inti dari semuanya.
Saya jadi teringat kala masih mahasiswa dulu, di BLK ini seperti suasana kost yang berlaku doktrin sosialisme: bahwa anumu adalah anuku, dan aku pun rela anuku jadi anumu. Hahahahahahaha.
Sahabatku
Di sini tak ada strata sosial kawan, tak ada latar belakang keluarga, tak ada identitas ekonomi, tak ada warna kulit, tak ada instansi, hanya ada satu: Peserta Prajab Gol III Gel II. Dan status itu, sudah cukup buat kita untuk tidak merasa segan ataupun malu dengan yang lainnya.
Kawan-kawan sekalian, ini semua bukan sandiwara, kan? Saudara-saudaraku, keakraban ini tidak dibuat-buat, kan? Sahabat-sahabatku, setelah ini kau masih akan menelponku? masih mau membalas smsku, kan? Kekasihku, kau mencintaiku dengan tulus, kan?
Karena aku tidak mungkin melupakan saat kita berbagi kertas resume. Aku pasti selalu ingat bahwa kau juga yang telah meminjamiku pin Korpri agar aku tak lagi ditegur Panitia. Aku juga sering menitipimu map untuk menghindari duduk paling depan, karena aku sering telat dan suka terkantuk di ruangan.
Dan satu hal yang paling saya suka darimu kawan, karena pembesukmu selalu membawa kue kesukaanku.
Pesan kami untuk panitia, kalaupun ada diantara kami yang belum cukup memenuhi kriteria untuk lulus, maka saya yakin kami siap untuk mengulang, asalkan kami mengulang secara bersama-sama.
Karena bagi kami, di sini telah menjadi taman orang-orang jatuh cinta.
Sungguh, ini seperti kebebasan yang tidak kami harapkan…
Subarman Salim BLK, 27 April 2011
2 komentar:
setelah 24 hari itu, sy kini jadi yakin, bahwa sy punya byk saudara di sini. sungguh, semua itu bahkan tak cukup jika menuliskannya hanya dengan kata...makasih sahabat, saudaraku. (uba)
hehehhe....makasih juga mas bro....
Post a Comment
Komenter Kamu